WHO atau World Health Organization pada pertengahan bulan ini mengeluarkan batasan konsumsi harian atas penggunaan pemanis buatan berjenis aspartam. Mereka mengumumkan untuk pertama kalinya bahwa aspartam masuk ke dalam kategori possibly carsinogenic to humans atau kemungkinan bersifat karsinogenik (memicu kanker) pada manusia.
Sejumlah penelitian yang dicermati oleh WHO (World Health Organization), IARC (International Agency for Reasearch on Cancer) dan JECFA (Joint Expert Committee on Food Additives) menunjukkan adanya keterkaitan antar aspartam dengan kanker hati. Dalam penelitian itu IARC menggolongkan aspartam sebagai kemungkinan karsinogenik bagi manusia atau masuk kategori 2B.
IARC adalah Badan Internasional untuk penelitian tentang kanker, yang bertugas melakukan penelitian dan evaluasi ilmiah terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko kanker pada manusia. Badan ini mengevaluasi berbagai bahan kimia, agen fisik, faktor biologis, dan lingkungan yang dianggap memiliki potensi untuk menyebabkan kanker pada manusia.
Kategori klasifikasi bahan berbahaya menurut IARC diantaranya kelompok 1 (berdampak karsinogen bagi manusia), kelompok 2 (kemungkinan berdampak karsinogen bagi manusia), kelompok 3 (tidak dapat diklasifikasikan sebagai potensi karsinogen bagi manusia), serta kelompok 4 (tidak karsinogenik bagi manusia).
Sementara JECFA adalah sebuah badan ilmiah yang dibentuk oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Badan ini bertugas untuk mengevaluasi keamanan, penerimaan, dan penggunaan bahan tambahan pangan, termasuk bahan pemanis seperti aspartam, serta bahan-bahan lain yang ditambahkan dalam makanan untuk berbagai tujuan, seperti meningkatkan rasa, warna, atau daya tahan.
Dalam siarannya WHO menyebut bahwa mengutip bukti terbatas untuk karsinogenisitas atau proses pembentukan kanker pada manusia, IARC menggolongkan aspartam sebagai kemungkinan karsinogenik pada manusia (grup 2B). JECFA menyatakan asupan harian yang dapat diterima ialah sebesar 40 mg per kg berat badan. Jumlah batasan ini terhitung masih sama dengan yang ditetapkan WHO pada beberapa tahun lalu.
Aspartam selama ini digunakan sebagai bahan pemanis buatan yang bersifat kimiawi dan banyak digunakan dalam beragam produk makanan dan minuman yang beredar dipasaran sejak tahun 1980an. Produk itu diantaranya berbagai minuman diet, permen, es krim, gelatin, yoghurt, sereal bahkan pasta gigi dan obat-obatan serta vitamin.
Dr. Francesco Branca selaku Direktur Departemen Nutrisi dan Keamanan Makanan WHO mengatakan ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan WHO akan terus menilai kemungkinan adanya faktor pemicu kanker pada produk di pasaran.
Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi jumlah kasus kematian akibat kanker pada manusia. Menurutnya kanker merupakan penyebab utama kematian secara global, dimana setiap tahun satu dari enam orang meninggal dunia akibat kanker.
Dalam rilis WHO terkait aspartam juga disebutkan IARC dan JECFA telah melakukan tinjauan independen namun saling melengkapi untuk menilai potensi bahaya karsinogenik dan resiko kesehatan lain yang terkait dengan konsumsi aspartam.
Tinjauan independen tersebut merupakan yang pertama dilakukan IARC untuk produk aspartam, sementara bagi JECFA merupakan yang ketiga kalinya. Dalam tinjauan itu IARC menggolongkan aspartam sebagai kemungkinan karsinogenik pada kelompok 2B berdasar bukti terbatas untuk kanker manusia, khususnya karsinoma hepatoseluler atau merupakan jenis kanker hati.
Sementara JECFA menyimpulkan data yang dievaluasi menunjukkan jika tidak ada cukup alasan untuk mengubah asupan aspartam harian yang dapat diterima yaitu sebesar 0-40 mg pada tiap kilogram berat badan.
Dalam pernyataan itu WHO juga menegaskan akan terus memantau bukti baru dan mendorong kegiatan kelompok penelitian independen untuk mengembangkan studi lebih lanjut tentang hubungan potensial antara paparan aspartam serta dampak yang ditimbulkannya pada kesehatan konsumen.
Penggunaan aspartam di Indonesia dimulai pada tahun 1980-an, ketika pemanis buatan ini mulai diperkenalkan sebagai alternatif gula dalam produk makanan dan minuman rendah kalori. Aspartam, dengan cepat menjadi pilihan populer bagi produsen makanan untuk menciptakan produk dengan rasa manis tanpa meningkatkan kadar gula dan kalori.
Penggunaan aspartam di Indonesia diatur oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang bertugas memastikan keamanan pangan dan bahan tambahan makanan yang digunakan dalam produk-produk yang dijual di pasar Indonesia.
BPOM juga telah menetapkan batas aman (Acceptable Daily Intake/ADI) untuk aspartam, sehingga memastikan bahwa penggunaannya tetap sesuai dengan standar keamanan yang ditetapkan.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, penggunaan aspartam dan pemanis buatan lainnya akan terus dipelajari dan diperbarui. Senada dengan WHO, BPOM juga terus melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap bahan-bahan tambahan pangan, termasuk aspartam, untuk memastikan keamanan dan kepatuhan penggunaannya sesuai dengan peraturan dan standar yang berlaku.
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News