Surabaya (perempuanriang.com) – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB) Kota Surabaya mengidentifikasi sejumlah faktor yang dapat memicu kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Faktor-faktor tersebut melibatkan masalah individual, sosial, dan hukum.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DP3A-PPKB Kota Surabaya, Thussy Apriliyandari, mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah masalah sosial yang kompleks dan memiliki banyak faktor penyebab. Faktor individual, yang melibatkan lingkungan keluarga, seringkali menjadi pemicu utama.
“Pelaku dan korban kekerasan sering kali tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga atau masyarakat yang tidak harmonis. Mereka mungkin menganggap kekerasan sebagai hal yang wajar tanpa menyadari bahwa itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),” kata Thussy pada Rabu (24/1/2024).
Thussy menjelaskan bahwa kurangnya kesadaran pelaku terhadap tindakan kekerasan juga menjadi faktor yang signifikan. Banyak pelaku kekerasan tidak menyadari bahwa tindakan mereka merugikan korban, baik itu anak kandung sendiri maupun orang lain dalam lingkungan keluarga.
“Beberapa pelaku merasa berhak melakukan kekerasan, terutama jika mereka memberi uang kepada korban. Ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan dampak negatif tindakan mereka,” tambahnya.
Faktor individual juga dapat terkait dengan karakter pelaku, seperti sifat keras, agresif, impulsif, egois, dan tidak sabaran. Selain itu, adanya rantai kekerasan yang tidak terputus dari generasi sebelumnya juga dapat menjadi pemicu.
Thussy menyoroti faktor sosial, terutama budaya patriarki, sebagai penyebab kekerasan dalam beberapa kasus. Budaya ini memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai inferior, melegitimasi kekerasan sebagai sesuatu yang wajar dan dapat diterima.
“Pengaruh media massa dan media sosial juga dapat memicu terjadinya kekerasan. Gadget memiliki dampak besar dalam mempengaruhi pandangan dan perilaku masyarakat,” ungkap Thussy.
Dalam konteks hukum, Thussy mengatakan bahwa kurangnya kesadaran terhadap peraturan yang mengatur kekerasan terhadap perempuan dan anak juga dapat memicu kasus kekerasan. Meskipun hukum perlindungan sudah ada, banyak masyarakat atau pelaku yang tidak memahami konsekuensi hukum dari tindakan mereka.
“Faktor hukum ini melibatkan pemahaman masyarakat dan pelaku terkait konsekuensi hukum. Beberapa pelaku mungkin merasa memiliki kekebalan karena hubungan dengan korban, seperti kasus anak kandung,” jelas Thussy.
Thussy menekankan bahwa untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, lingkungan keluarga memiliki peran penting. Baik orang tua maupun anak harus mengedepankan nilai-nilai agama masing-masing.
“Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan terhadap keluarga, terutama terhadap golongan minoritas yang lemah, yaitu perempuan dan anak. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebab utama kekerasan,” pungkasnya. (tia)
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News