Surabaya (perempuanriang.com) – Apakah perempuan tidak seharusnya mengejar pendidikan tinggi? Pertanyaan ini masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat yang memegang teguh budaya patriarki. Ungkapan seperti percuma sekolah tinggi-tinggi, nanti ujung-ujungnya juga di dapur kerap muncul sebagai pembenaran untuk membatasi perempuan dari menempuh pendidikan lebih jauh.
Padahal, di era modern yang semakin inklusif, pendidikan seharusnya menjadi hak universal, tanpa memandang gender. Lantas, bagaimana dampak pandangan seperti ini terhadap perempuan, terutama di negara patriarki seperti Indonesia? Dan apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah stigma tersebut?
Benarkah perempuan tidak perlu meraih pendidikan setinggi mungkin? Pertanyaan ini kerap muncul dalam masyarakat yang masih terpengaruh pandangan patriarki.
Di Indonesia, misalnya, ungkapan seperti jangan sekolah atau kuliah tinggi-tinggi, nanti ujung-ujungnya juga di dapur atau percuma sekolah tinggi-tinggi kalau nggak bisa masak, ngurus anak, dan suami sering menjadi alasan untuk membatasi akses perempuan terhadap pendidikan tinggi.
Apakah pandangan ini relevan di era modern? Bagaimana dampaknya terhadap perempuan dan masyarakat secara keseluruhan?
Perspektif Masyarakat terhadap Pendidikan Perempuan
Pandangan seperti pendidikan tinggi untuk perempuan tidak berguna berasal dari stereotip gender yang memosisikan perempuan hanya dalam peran domestik sebagai istri dan ibu.
Meskipun peran domestik sangat penting, membatasi perempuan untuk hanya menjalani peran tersebut adalah bentuk pengabaian terhadap potensi mereka.
Faktanya, pendidikan tinggi tidak hanya membuka peluang karier, tetapi juga memberdayakan perempuan untuk menjadi individu yang lebih mandiri, berpikir kritis, dan mampu berkontribusi lebih besar dalam keluarga dan masyarakat.
Dampak Jangka Panjang Perspektif Patriarki terhadap Perempuan
Di negara dengan budaya patriarki seperti Indonesia, perspektif yang membatasi pendidikan perempuan dapat berdampak serius, baik bagi individu perempuan maupun masyarakat:
1. Terbatasnya Kesempatan Ekonomi
Pendidikan rendah mempersempit peluang kerja perempuan, membuat mereka bergantung secara finansial pada pasangan atau keluarga. Hal ini meningkatkan risiko kemiskinan, terutama jika terjadi perceraian atau kehilangan pasangan.
2. Minimnya Representasi Perempuan di Sektor Profesional
Pandangan ini mengurangi jumlah perempuan yang menempati posisi strategis di sektor profesional, pemerintahan, atau bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika).
3. Generasi yang Kurang Terinspirasi
Ketika perempuan tidak diberdayakan, mereka sulit menjadi teladan bagi generasi muda. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, bisa tumbuh dengan pandangan sempit tentang peran gender.
4. Ketimpangan Gender yang Berkelanjutan
Budaya patriarki yang terus melanggengkan diskriminasi terhadap pendidikan perempuan akan memperpanjang ketimpangan gender di berbagai bidang, termasuk ekonomi, politik, dan sosial.
Menghilangkan Perspektif Patriarki terhadap Pendidikan Perempuan
Mengubah perspektif masyarakat membutuhkan waktu dan usaha kolektif. Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan:
1. Edukasi tentang Pentingnya Pendidikan untuk Semua
Kampanye kesadaran melalui media, komunitas, dan lembaga pendidikan harus menekankan bahwa pendidikan adalah hak semua orang, tanpa memandang gender.
2. Memberikan Contoh Nyata
Ceritakan kisah sukses perempuan yang menempuh pendidikan tinggi dan berkontribusi signifikan dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat mengubah persepsi negatif menjadi positif.
3. Dukungan dari Laki-Laki
Laki-laki, terutama kepala keluarga dan tokoh masyarakat, harus didorong untuk mendukung pendidikan perempuan. Ketika laki-laki terlibat, perubahan lebih mudah diterima.
4. Kebijakan Pemerintah yang Pro-Gender
Pemerintah perlu memperkuat kebijakan untuk mendorong pendidikan perempuan, seperti beasiswa khusus, perlindungan hukum terhadap diskriminasi, dan insentif bagi perusahaan yang memperkerjakan perempuan berpendidikan tinggi.
5. Mengatasi Stigma Domestik vs. Pendidikan
Pendidikan tinggi tidak menghalangi perempuan untuk menguasai keterampilan domestik. Sebaliknya, perempuan yang terdidik memiliki kemampuan lebih baik dalam mengelola rumah tangga, mendidik anak, dan berkontribusi pada keluarga secara menyeluruh.
Pendidikan bukan hanya tentang mendapatkan gelar atau karier, tetapi juga pemberdayaan diri, pemikiran kritis, dan kemampuan berkontribusi pada keluarga serta masyarakat. Membatasi perempuan dari pendidikan tinggi tidak hanya merugikan mereka secara individu, tetapi juga menghambat kemajuan masyarakat secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melawan stigma yang melekat dalam budaya patriarki dan memberikan dukungan penuh agar perempuan dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin. Dengan langkah bersama, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan menghargai potensi setiap individu, tanpa terkecuali. (tia)
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News