Jakarta (perempuanriang.com) – Film Perempuan Berkelamin darah (Bahasa Inggris : Women From Rote Island) yang tayang perdana di Bioskop Indonesia pada tanggal 22 Februari 2024 dan sempat tayang perdana di Festival Film Internasional Busan pada 7 Oktober 2023 ini berdurasi 106 menit.
Film ini ditulis dan di sutradarai oleh Jeremias Nyangoen dan diproduksi oleh Bintang Cahaya Sinema serta Langit Terang Sinema ini dibintangi oleh Linda Adoe sebagai Orpa, Irma Rihi sebagai Martha, Sallum Ratu Ke sebagai Bertha, dan Van Jhoov sebagai Damar.
Film ini tidak hanya mengisahkan perjuangan perempuan melawan trauma dan ketidakadilan, tetapi juga menempatkan perempuan sebagai penjaga budaya dan pilar utama dalam komunitas. Lewat karakter Orpha, Martha, dan Bertha, Perempuan Berkelamin Darah mengingatkan bahwa perempuan memiliki peran besar dalam membentuk masa depan masyarakat.
Saat kisah Perempuan Berkelamin Darah dimulai, suasana duka menyelimuti rumah Orpha. Sudah sembilan hari sejak kematian suaminya, Abraham, namun pemakaman belum dilaksanakan.
Alasan penundaan ini adalah keteguhan Orpha untuk memenuhi keinginan terakhir suaminya: menghadirkan putri mereka, Martha, dalam prosesi pemakaman. Martha, yang tengah bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, terlambat kembali ke kampung halaman.
Keadaan ini membuat rumah tangga, yang didominasi oleh perempuan, berada dalam kekacauan. Orpha, dengan segala upayanya, menunda prosesi pemakaman hingga akhirnya Martha
tiba. Kedatangannya membawa kebahagiaan bagi Orpha dan saudara perempuannya, Bertha, namun kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat sebelum tragedi lain mulai terungkap.
Martha kembali dengan luka yang tidak kasat mata. Trauma mendalam yang ia alami selama bekerja di Malaysia secara perlahan memengaruhi kondisi mentalnya.
Keluarganya berusaha untuk membantunya pulih, tetapi lingkungan mereka yang keras dan penuh stigma sosial membuat upaya tersebut sulit terwujud. Alih-alih menemukan ketenangan, mereka justru dihantui oleh tragedi yang seolah tak berujung.
Salah satu adegan yang menggugah adalah ketika Orpha, dalam perjalanan ke pasar, menjadi korban pelecehan oleh seorang anak laki-laki.
Saat ia mencoba melaporkan kejadian tersebut, respons yang diterimanya menunjukkan sikap masyarakat yang permisif terhadap perilaku seperti itu. Adegan ini menjadi simbol dari situasi perempuan di komunitas tersebut, di mana eksploitasi dan pelecehan sering kali dianggap remeh.
Jeremias Nyangoen membawa penonton menyelami kedalaman cerita dengan pendekatan bergaya dokumenter. Penggunaan tracking shot dan kamera goyang menciptakan atmosfer realistis yang menegangkan, mengingatkan pada gaya sutradara Brillante Mendoza.
Nyangoen dengan jeli menghadirkan kritik sosial yang kuat melalui berbagai adegan, termasuk momen-momen yang mengeksplorasi ketimpangan gender dan pelecehan seksual di lingkungan komunitas kecil.
Karakter laki-laki dalam film ini digambarkan sebagai representasi dari sistem yang cacat, dengan berbagai bentuk pelecehan yang dialami Martha menjadi sorotan utama.
Dari pengintipan hingga eksploitasi seksual, film ini menghadirkan gambaran neraka yang dihadapi perempuan dalam lingkungan kecil yang seolah tertutup oleh tabir tradisi.
Selain itu, film ini dengan berani mengeksplorasi tema-tema gelap seperti pemerkosaan berantai yang menggemparkan komunitas kecil, dengan hasil yang mengejutkan dan menyedihkan.
Film ini juga menunjukkan bagaimana mayoritas karakter laki-laki, tanpa memandang usia, digambarkan sebagai sosok yang meresahkan.
Martha, yang menderita trauma mental, menjadi korban eksploitasi lebih lanjut, memperlihatkan kenyataan pahit yang harus dihadapi perempuan dalam lingkungan yang tidak mendukung. Lebih mengerikan lagi, keberadaan pemerkosa berantai di komunitas kecil ini mengubah segalanya menjadi seperti neraka yang tiada akhir.
Tragedi yang muncul dalam dua kasus mengejutkan menjadi puncak dari narasi kelam film ini, memberikan gambaran nyata tentang ketidakadilan yang mengakar dalam sistem sosial.
Melalui film Perempuan Berkelamin Darah, Jeremias Nyangoen tidak hanya menyajikan kisah yang menggugah emosi, tetapi juga mengangkat realitas pahit yang dihadapi perempuan dalam masyarakat patriarki.
Dengan narasi yang kuat dan visual yang penuh intensitas, film ini menjadi medium untuk merefleksikan isu sosial yang jarang dibahas secara mendalam, sekaligus menyoroti perjuangan perempuan di tengah tekanan budaya dan ketidakadilan.
Perempuan Berkelamin Darah bukan hanya sebuah film, tetapi juga sebuah kritik sosial yang tajam. Nyangoen ingin mengajak penonton merenungkan posisi perempuan dalam masyarakat patriarki, khususnya di lingkungan kecil seperti Rote.
Film ini menggambarkan bagaimana perempuan sering kali menjadi korban eksploitasi dan kekerasan yang sistemik, serta pentingnya upaya kolektif untuk mengatasi masalah ini.
Film ini juga menyoroti pentingnya kesetaraan gender, perlindungan terhadap perempuan, dan perlunya perubahan sosial di berbagai lapisan masyarakat.
Dengan tayang perdana di Festival Film Internasional Busan, karya Jeremias Nyangoen ini mendapat sorotan dunia, membuka ruang diskusi tentang isu-isu yang jarang dibicarakan namun sangat relevan di Indonesia dan di seluruh dunia.
Tidak hanya menyentuh isu kekerasan, film ini juga berbicara tentang keberanian, cinta keluarga, dan pentingnya mendobrak stigma sosial.
Tragedi yang diceritakan mengingatkan kita bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi perempuan. (tia)
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News