Penulis, ibu, dan seorang penggerak, Welda Sana Vero atau lebih dikenal dengan W. Sanavero, adalah sosok yang pas untuk mewakili perempuan masa kini. Dengan keteguhan berbudaya, Vero begitu ia akrab dipanggil, memilih menggeluti dunia menulis sedari kecil.
Kebiasaannya menuang pikiran melalui buku harian, kini berbuah manis. Melejit dengan buku ‘Perempuan yang Memesan Takdir’, Vero kini sibuk menyiapkan kelahiran buku baru.
Seolah ingin ingin mendulang peruntungan yang sama, di buku baru ini ia kembali menggunakan perempuan dan kompleksitasnya.
Jika dalam karya terdahulu ia kerap menyinggung perempuan dengan kebebasan berfikir dan perlawanan, kali ini perempuan kelahiran Blora ini ingin mengangkat keterbatasan ruang gerak perempuan sebagai keindahan berbudaya.
“Kalau di karya sebelumnya saya sering kali menyinggung tentang perlawanan perempuan, dalam novel yang akan datang ini saya akan mengambil sudut pandang yang berbeda, yakni keterbatasan ruang gerak perempuan sebagai budaya yang memilki keindahan tersendiri,” ungkapnya.
Mengambil latar belakang tahun 1998, Vero ingin membawa pembaca dalam suasana puncak konflik perempuan di Indonesia.
Ya, topik perempuan memang jadi salah satu topik kesayangan ibu beranak satu ini. Dalam tiap karyanya, unsur perempuan tak pernah luput dari pandangannya. Hal ini mencerminkan bahwa ia sangat peduli terhadap perempuan melalui goresan tinta.
Dengan menulis ia menyajikan keresahan pada realita kehidupan bermasyarakat di Indonesia dewasa ini.
Disinggung soal pola pergerakan perempuan di Indonesia baru-baru ini, editor srawungmedia.com ini kerap menawarkan pandangan yang berbeda dengan pemerhati pergerakan perempuan lainnya.
Latar belakang pendidikan syarat akan budaya dan keagamaan yang kental membuat ia mengajak kita berfikir dari sudut yang berbeda, alih-alih menyalahkan kebudayaan yang sudah ada.
“Kita ini orang timur, kita harus tau jati diri kita sebagai orang timur,” jelasnya.
“Selayaknya orang timur, kita harus menyambut dengan baik pembaharuan apapun, namun harus ditelaah terlebih dahulu baik buruknya bagi kehidupan kita,” imbuhnya.
Di tengah degradasi kebudayaan dan jati diri bangsa, pergerakan perempuan juga mengalami hal serupa. Dewasa ini banyak penerapan ide dan teori pergerakan yang mengesampingkan kebudayaan bangsa.
“Sebagai perempuan Indonesia ya jangan berlagak bodoh, jangan semua ditelan mentah, terlepas sebagus apapun teori itu,” katanya. Ide dan teori pergerakan yang berkembang, sejatinya ialah teori yang lahir dari kondisi sosial wilayah tersebut.
Untuk itu, sudah barang pasti menerapkan teori dan ide pergerakan dengan kondisi sosial yang berbeda harus melalui filterasi.
Mahasiswi bahasa dan sastra arab UIN Malang ini ialah salah satu representatif perempuan Indonesia dengan segala kearifan lokal yang masih melekat dalam jiwanya. Penulis progresif dengan segala kompleksitas beragama yang menolak tunduk pada konsep kebebasan khas modernisasi. (reka kajaksana | foto : dok pribadi)
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News