Pemilihan Umum Presiden, Wakil Presiden, dan Anggota Legislatif 2019-2024 sudah di depan mata. Pemilu selayaknya menjadi sebuah ruang demokrasi, yang akan menentukan agenda bangsa, termasuk menjadi gambaran dan refleksi akan situasi perempuan ke depan.
Sayangnya, substansi situasi dan kepentingan perempuan absen dari berbagai diskursus calon pemimpin bangsa. Empat kali debat Capres-Cawapres, terlihat bahwa para kandidat tidak memiliki pemahaman utuh dan perhatian serius terhadap isu-isu perempuan.
Rangkaian debat justru mempertontonkan politik identitas, saling serang antar kandidat, dan terjebak pada hal-hal simbolik tanpa mampu menyentuh persoalan mendasar perempuan maupun rakyat secara lebih luas.
Padahal, sejarah bangsa ini tidak terlepas dari peran dan kontribusi perempuan di berbagai konteks dan bidang. Maka menghilangkan kepentingan perempuan dari diskursus politik adalah pengabaian terhadap perjuangan merebut kemerdekaan, hingga pembangunan bangsa yang selama ini turut dilakukan perempuan.
Sudah seharusnya agenda politik bangsa dibangun dengan melihat pada pengalaman dan pengetahuan perempuan. Perempuan dengan berbagai pengalaman penindasan, ketidakadilan dan kekerasan, penting menjadi pembelajaran bangsa ini untuk memastikan keadilan dan kedaulatan bagi perempuan.
Persoalan hak atas air yang dirampas akibat swastanisasi air di Jakarta misalnya. Masyarakat harus membayar air untuk kebutuhan sehari-hari, dengan kualitas air yang buruk, bahkan seringkali tidak keluar. Lebih dari lima belas tahun, perempuan di Rawa Badak-Jakarta Utara terus memperjuangkan haknya atas air.
Namun fakta saat ini menunjukkan bahwa negara lebih mementingkan kepentingan investasi daripada hak-hak rakyatnya. Maka bagi perempuan, perombakan sistem pengelolaan air merupakan agenda politik guna mencapai hak dasar mereka. Pengelolaan air seharusnya dilakukan oleh negara dengan berorientasi pada pemenuhan hak warga negara atas air.
Perempuan juga masih mengalami diskriminasi dan marjinalisasi dalam kepemilikan dan penguasaan tanah, properti serta sumber daya ekonomi, politik dan sosial lainnya. Ditambah lagi, dominasi penguasaan tanah secara besar-besaran untuk kepentingan investasi, telah merampas hidup, sumber kehidupan perempuan dan menghancurkan lingkungan, serta berujung pada konflik agrarian yang kerap disertai kekerasan dan kriminalisasi oleh negara.
Di tengah sistem sosial dan negara yang timpang, telah menciptakan dampak berlapis dan memiskinkan perempuan. Salah satunya investasi melalui privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Asmania, perempuan Pulau Pari menyatakan “warga selama ini mengelola pulau turun temurun, menangkap ikan, kerang, menanam rumput laut. Kita bangun ekowisata juga atas daya kita sendiri, ibu-ibu, bapak-bapak semua terlibat. Sekarang mau dikuasai perusahaan PT Bumi Pari Asri. Tindakan perusahaan menekan dan mengkriminalisasi warga, justru didukung oleh negara. Tuntutan kita perempuan, buat pemimpin bangsa ke depan, harus bisa melindungi hak dan kedaulatan masyarakat atas tanah dan ruang hidupnya, dan secara khusus, hak kami perempuan nelayan.”
Kriminalisasi dan proses hukum yang diskriminatif serta tidak berbasis pada penghormatan HAM juga dialami perempuan buruh migran. Kasus Wn, asal Karawang, adalah salah satu contohnya. Wn yang tidak terbukti melakukan sihir, masih harus mendekam di penjara Arab Saudi selama 10 tahun lebih tanpa adanya kepastian hukum.
Sejak 2008, keluarga telah memperjuangkan pembebasannya, melalui desakkan ke pemerintah maupun legislatif. Namun hingga hari ini, Wn masih dipenjara di Arab Saudi tanpa ada informasi jelas dan kepastian kepada keluarga. Sumi, ibu WN, mendesak pemerintah untuk segera memastikan pembebasan WN dan melindungi seluruh Buruh Migran Indonesia.
Perampasan kedaulatan perempuan tidak hanya terjadi pada sumber-sumber kehidupannya, bahkan kedaulatan atas otoritas perempuan yang paling mendasar dilakukan oleh negara. Komnas Perempuan mencatat, setidaknya 421 kebijakan diskriminatif di Indonesia yang menyasar tubuh dan ruang gerak perempuan. Salah satunya adalah Qanun Jinayat di Aceh, yang diskriminatif secara susbtantif maupun pelaksanaannya. Maka bagi perempuan, menjadi agenda politik untuk mencabut Qanun Jinayat dan seluruh kebijakan diskriminatif.
“Tidak ada satupun suara perempuan hari ini, yang dibahas dan menjadi perhatian serius oleh para kandidat. Tanpa adanya perhatian dan agenda yang jelas terkait perempuan, maka penindasan, kekerasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan akan terus berlanjut,” ungkap Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Nisaa Yura.
Menjelang hari pencoblosan, Solidaritas Perempuan kembali menekankan bahwa agenda politik perempuan haruslah menjadi agenda politik bangsa.
“Berani mencalonkan diri sebagai pemimpin Indonesia, maka harus berani menghapuskan penindasan, ketidakadilan, dan kekerasan terhadap perempuan,” pungkas Nisaa.
Karenanya, bagi Solidaritas Perempuan calon pemimpin ke depan, harus berani menghapuskan semua kebijakan diskriminatif yang menyasar tubuh dan ruang gerak perempuan, serta mengharmonisasikan seluruh kebijakan agar berperspektif adil gender. Karena, di tengah sistem sosial yang timpang, kebijakan netral gender justru mendiskriminasi perempuan.
Calon pemimpin ke depan juga harus mengambil tindakan nyata untuk merombak sistem politik ekonomi, dan kebijakan menjadi berorientasi pada hak serta kedaulatan rakyat, perempuan maupun laki-laki.
Menyuarakan Agenda Politik Perempuan adalah perjuangan mencapai kedaulatan yang melampaui momentum lima tahunan. Karena itu, perjuangan perempuan akan terus dilakukan demi mewujudkan kedaulatan perempuan atas diri, hidup dan sumber kehidupannya.
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News