Para perempuan mulai mampu unjuk gigi sebagai delegasi dalam konferensi-konferensi internasional. Hal ini membuktikan perempuan mampu menjadi agen yang berperan aktif sebagai negosiator ulung, bahkan juru damai dalam konflik antar-kelompok maupun antar-negara.
Peran kaum hawa dalam menegakkan perdamaian dan keamanan dunia pernah juga disinggung oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Menurutnya, perempuan memiliki kelebihan, yakni insting keibuan yang secara alami dapat menciptakan perdamaian dengan cinta, kepedulian serta harmoni.
Berbekal modal itu sebenarnya perempuan memiliki potensi yang sangat berharga untuk berkontribusi lebih banyak lagi dalam menegakkan perdamaian dan keamanan dunia.
Di satu sisi, perempuan dan anak-anak kerap terlibat konflik dan menjadi kelompok yang paling terdampak. Namun dalam waktu bersamaan, kata Retno, perempuan juga bisa berperan signifikan dan secara konstruktif dalam menciptakan perdamaian
Dia juga menambahkan, perempuan merupakan agen yang menjaga kedamaian dan toleransi. Pasalnya, dua hal ini dimulai dari rumah. Oleh karenanya, perempuan bisa menjadi pertahanan pertama untuk melawan ekstrimisme dan radikalisme.
Sayangnya, peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan dunia masih minim. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2018 menunjukkan baru sekitar 8% perempuan yang menjadi juru runding dan 2% yang jadi mediator di PBB. Padahal, perempuan juga memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan laki-laki dalam menghadapi konflik.
Contoh nyata peran tersebut dibuktikan oleh Suster M. Brigitta Renyaan. Dalam sebuah pelatihan bersama Kemenlu tahun 2018, perempuan asal Kei, Maluku, ini menceritakan konflik keagamaan di Ambon tahun 1999.
Kala itu, Brigitta dan beberapa perempuan lain berusaha meredakan konflik tersebut dengan melakukan pendekatan kepada orang yang terlibat. Para perempuan memilih tetap berada di sana dan membuat pelatihan-pelatihan kepada anak-anak, melakukan transformasi perdamaian dari generasi baru.
Perempuan melindungi perempuan
Pada diplomat perempuan ternyata punya peran penting dalam melindungi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Staf Ahli Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Indonesia di Luar Negeri, Siti Nugraha Mauludiah, bahkan mengapresiasi secara khusus kinerja diplomat perempuan.
Dia melihat, seluruh diplomat perempuan telah mengambil peran dan tanggung jawab dalam hal perlindungan, menyingsingkan lengan baju, membantu mengayomi dan melindungi lebih dari 11 juta WNI di luar negeri.
Siti menyebutkan bahwa peran diplomat perempuan mutlak dibutuhkan Kemenlu dalam membantu perlindungan WNI. Dia mengisahkan, pengarusutamaan gender yang disahkan dalam UU Nomor 21 tahun 2020 di akhir tahun lalu menjadi pedoman para diplomat perempuan dalam menjalankan tugas mereka.
Lebih dari itu, Indonesia juga mendorong peran perempuan dalam media negosiasi perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Indonesia, kata Siti, menjadi pelopor peran perempuan dalam operasi misi perdamaian PBB.
Saat ini, tercatat dari 743 diplomat perempuan di Kemenlu RI, sekitar 305 diplomat ditempatkan di luar negeri. Sebagian dari mereka memegang peran penting sebagai pelaksana fungsi konsuler atau yang bertanggung jawab langsung pada pelayanan dan perlindungan WNI di luar negeri, kata Direktur Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri, Andy Rachmianto
Andy menambahkan, para diplomat perempuan yang terlibat dalam kerja perlindungan WNI di luar negeri memiliki ketangguhan dan dedikasi yang tinggi dan hal ini, menurutnya, telah teruji.
Ia menuturkan, peran diplomat perempuan sangat signifikan dalam pencapaian Kemenlu, terutama di bidang perlindungan WNI. Dia pun menekankan perlunya mengapresiasi peran para diplomat perempuan dalam membantu pekerjaan ini.
Mengubah paradigma
Meski demikian, peran perempuan bisa menjadi lebih maksimal jika para perempuan sendiri mengubah paradigmanya. Menlu Retno pernah berujar agar perempuan ikut melawan paradigma lama.
Menurutnya, perempuan modern saat ini harus maju dan wajib hukumnya mendapatkan kesetaraan hak serta ruang yang sama dengan kaum laki-laki. Mengubah paradigma penting karena perempuan bukan hanya punya hak yang sama, tapi juga peluang yang sama.
Retno mengatakan kesetaraan gender bukan hanya soal keadilan, namun harus dipastikan hak dan kewajibannya sama. Dia meyakini bahwa perubahan paradigma ini mampu berkontribusi besar bagi kemajuan bangsa.
Semua itu, lanjut dia, dilakukan untuk membawa kesejahteraan kepada perempuan yang justru menjadi tumpuan dalam memperkuat ketahanan masyarakat.
Retno menyebut, sekitar 71% tenaga kesehatan dunia di garis depan adalah perempuan, bahkan 60% UMKM yang memproduksi alat-alat kesehatan atau barang yang diperlukan saat pandemi juga adalah perempuan.
Ini menjadi bukti, perempuan juga mampu berkontribusi tak hanya kepada keluarga dan masyarakat, tetapi juga bagi perekonomian bangsa serta perdamaian dunia.
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News