Setiap tahunnya 8 Maret diperingati sebagai hari bersejarah dalam pengakuan perjuangan perempuan dari masa ke masa. Pada tahun ini, 8 Maret di Indonesia juga dirayakan menjelang momentum elektoral, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden, serta anggota Legislatif yang akan dilakukan pada bulan April 2019 mendatang.
Hal ini sekaligus menjadi refleksi besar, di mana dalam momentum politik hari ini, semakin jauh dari sistem dan proses demokrasi yang menghargai setiap pilihan politik warga Negara. Berbagai isu dijadikan alat untuk memenangkan kekuasaan politik, terutama pada isu SARA.
Kepentingan dan hak-hak perempuan pun belum menjadi perhatian bagi para calon pemimpin bangsa. Sebaliknya, perempuan justru rentan dijadikan komoditas politik tanpa benar-benar diperhitungkan dan diperhatikan kepentingannya. Lebih lanjut, momentum politik yang sarat akan politik identitas disertai dengan politik ketakutan, penindasan terhadap perempuan.
Padahal, berbicara kepentingan perempuan seharusnya menjadi prioritas bagi para calon pemimpin bangsa. Pasalnya, fakta penghancuran kedaulatan perempuan dan sumber kehidupannya di berbagai konteks terus terjadi.
“Hari ini, perempuan masih berhadapan dengan berbagai kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan, mulai dari kekerasan seksual, trafficking, kebijakan diskriminatif, hingga perampasan tanah, dan ruang-ruang hidupnya atas nama investasi dan pembangunan,” ungkap Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy.
Sekian lama, perempuan hanya dijadikan objek di dalam perumusan kebijakan maupun pembangunan yang berdampak pada peminggiran perempuan dalam pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, Puspa Dewy memaparkan berbagai fakta persoalan. Dalam konteks konflik agraria misalnya, Perampasan lahan dilakukan tidak hanya oleh perusahaan swasta, tetapi juga perusahaan milik negara, ataupun didukung oleh proyek pemerintah.
Konflik masyarakat dengan perkebunan Tebu di antaranya PTPN VII Cintamanis Ogan Ilir – Sumatera Selatan maupun PTPN XIX di Takalar, Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa negara juga berperan secara aktif dalam merampas sumber-sumber kehidupan perempuan.
Sementara Proyek Makassar New Port (MNP), yang merupakan proyek Nasional telah menyebabkan 135 perempuan pesisir di Cambaya, Buloa dan Tallo kehilangan akses dan kontrol atas sumber pangan di Makassar termasuk ancaman penggusuran tempat tinggal.
Salah satunya adalah Qanun Jinayat di Aceh, di mana telah banyak perempuan menjadi korban, bukan hanya dalam bentuk pencambukkan, tetapi juga tekanan sosial yang turut berdampak pada trauma psikologis, hingga terbatasnya akses ekonomi perempuan.
“Solidaritas Perempuan mencatat setidaknya terjadi 36 kasus dengan 32 kasus mengkriminalisasi perempuan sebagai terpidana dengan menggunakan Qanun Jinayat,” papar Puspa Dewy.
Kondisi tersebut diperparah dengan tindakan intoleransi dan menggunaan politik identitas yang dimainkan sepanjang momentum Pemilu. Jika dibiarkan, hal ini akan semakin mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia serta berdampak lebih parah pada kekerasan berlapis pada perempuan.
Sementara dalam konteks perempuan buruh migran (PBM), menguatnya kekerasan terhadap PBM, termasuk kerentanan terhadap trafficking justru diakibatkan oleh Kebijakan yang dibuat oleh negara.
Penelitian Solidaritas Perempuan menunjukkan bahwa Kepmenaker 260 Tahun 2015 tentang Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus penempatan unprosedural, yang juga berdampak pada kerentanan mereka terhadap trafficking.
“Dengan statusnya yang unprosedural, Perempuan Buruh Migran semakin sulit untuk mengakses keadilan, termasuk informasi, pelayanan dan bantuan hukum,” jelas Puspa Dewy. Kebijakan diskriminatif bahkan telah mencapai lebih dari 400[3], yang menyasar tubuh, pikiran dan ruang gerak perempuan.
Karenanya, terus menyuarakan agenda politik perempuan menjadi krusial. “Kepentingan perempuan bukan pilihan politik yang boleh dianulir negara. Agenda politik perempuan harus dilihat secara serius dan harus juga menjadi agenda politik bersama,” tegas Puspa Dewy.
Solidaritas Perempuan terus mengawal negara untuk mengedepankan agenda pengakuan, pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia , termasuk Hak Asasi Perempuan.
“Momentum politik elektoral merupakan momentum penting untuk memastikan suara perempuan menjadi bagian dari agenda politik dan demokrasi, sekaligus momentum konsolidasi perjuangan perempuan ke depan dalam merebut kedaulatan,” lanjut Puspa Dewy.
Solidaritas Perempuan (SP), merupakan organisasi perempuan yang didirikan pada 10 Desember 1990.
Lebih dari 26 tahun, SP bekerja bersama perempuan akar rumput dengan visi untuk mewujudkan tatanan sosial yang demokratis, berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, kesadaran ekologis, menghargai pluralisme dan anti kekerasan yang didasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara di mana keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial, budaya, ekonomi dan politik secara adil. (hdl)
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News