Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong para perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, baik kekerasan seksual, pelecehan seksual, dan kekerasan fisik untuk berani melaporkan kasus yang mereka alami sehingga dapat segera mendapatkan pendampingan psikologi dan pertolongan yang tepat.
Diakui, perempuan dan anak korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual seperti persetubuhan dan pelecehan seksual di ranah privasi dan di ruang publik, rentan mendapatkan stigma negatif dari sekeliling mereka sehingga para korban cenderung takut dan trauma melapor ke aparat penegak hukum.
Stigma negatif terhadap korban bisa datang dari lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, masyarakat, lingkungan kerja, dan media sosial.
“Perempuan dan anak memang sangat rentan mengalami kekerasan seksual. Banyak korban yang akhirnya memilih untuk menyimpan kasusnya, membungkam diri tidak berani melapor karena ketakutan akan membawa aib keluarga, ketakutan akan dicela dan mendapatkan perundungan dari masyarakat dan media sosial serta ancaman dan teror dari pelaku.
Pada akhirnya, kondisi ini justru mengakibatkan trauma mendalam bagi korban dan berakibat buruk pada kesehatan mental korban.
“Itu sebabnya kami mendorong para korban untuk berani melapor ke pos-pos pengada layanan, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau bisa juga melaporkan kasus mereka ke call centre Sahabat Perempuan dan Anak milik Kemen PPPA, yaitu SAPA129 atau hotline Whatsapp 08211-129-129,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati.
Ratna menambahkan dari data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) periode Januari – Maret 2021 tercatat 259 laporan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Secara Nasional pada 2016 ditemukan bahwa satu dari tiga perempuan berusia 15 sampai 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual oleh pasangan maupun bukan pasangan selama hidupnya.
“Setiap korban kekerasan seksual dan fisik membutuhkan ruang yang aman dan orang yang dapat dipercaya sehingga membantu mengurangi beban trauma yang dihadapi. Jika akhirnya korban memilih bersuara di ruang publik, tolong berikan empati untuk korban serta tidak menyudutkan dan memberikan stigma negatif,” tegas Ratna.
“Akhir-akhir ini banyak kasus pelecehan seksual di ruang publik dimana belum ada payung hukum perlindungannya. Payung hukum ini nantinya akan menjadi rujukan dalam menciptakan sistem yang komprehensif dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat, dari hulu sampai hilir.
Urgensi pentingnya regulasi ini, masih terus dimatangkan oleh DPR RI sebagai salah satu usul inisiatifnya. Hal ini juga sejalan dengan satu dari lima arahan Bapak Presiden kepada Kementerian PP dan PA, untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain dukungan dari aspek regulasi tentunya sinergi multipihak juga menjadi salah satu kunci dalam mewujudkan keberhasilan tugas ini,” pungkas Ratna.
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News