NAM (21 tahun), tengah berjuang untuk dapat bertemu Ibunya yang bekerja di Arab Saudi. NT, merupakan perempuan asal Sulawesi Selatan yang terpaksa meninggalkan NAM, anak pertamanya sejak berusia 4 bulan, untuk bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi sejak tahun 2000.
Mengalami penipuan pada saat sebelum keberangkatan, hingga perlakuan buruk majikan dialami oleh NT hingga akhirnya dia kabur dari majikan tersebut. Semua itu harus diterima NT dengan harapan akan perbaikan ekonomi serta kehidupan yang lebih layak bagi keluarganya.
Pada tahun 2016, NT menikah dengan RIAA yang diketahui merupakan seorang kepala Madrasah di Mekah. Sayangnya, pernikahan tersebut justru menyebabkan NT terancam kehilangan nyawanya di Arab Saudi.
Solidaritas Perempuan mencatat bahwa sepanjang pandemi Covid 19, berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran hak masih terus dialami perempuan buruh migran.
Arab Saudi menempati urutan kedua negara tujuan yang paling banyak dilaporkan kasusnya kepada Solidaritas Perempuan.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Kebijakan penghentian penempatan Pekerja Sektor Perseorangan (domestik) ke Timur Tengah bukanlah solusi dari berbagai persoalan buruh migran yang terjadi di negara tersebut.
NAM kerap menerima kabar dari sang Ibu perihal perilaku suaminya. Larangan bekerja, hingga kekerasan dialami oleh NT semenjak menikah.
NT seringkali dipukuli oleh RIAA hingga memar di bagian tangan, kaki dan paha. Suaminya tersebut juga menuduh NT melakukan praktik sihir kepada dia dan keluarganya.
NAM bahkan harus menyaksikan Ibunya diancam dan dicambuk dengan ikat pinggang melalui video call. Saat NAM ingin merekam pemukulan tersebut, RIAA justru mengambil handphone dan mematikannya. Setelah kejadian itu mereka tidak pernah mengangkat telepon dari NAM.
Pada tanggal 14 Juli 2020, NT menghubungi keluarganya di kampung dan mengatakan “Tolongka, dirantai kakiku di WC dan saya titip anakku.” Hari itu adalah terakhir kalinya keluarga mendengar kabar dari NT. Sejak saat itu dia tidak dapat dihubungi baik melalui IMO dan Whatsapp.
Tuduhan melakukan praktik sihir atau ilmu hitam di Arab Saudi merupakan tuduhan yang serius. Mereka yang mendapatkan tuduhan ini bisa saja mendapatkan vonis hukuman mati.
Hal ini bukan pertama kalinya terjadi pada perempuan buruh migran yang bekerja di Arab Saudi asal Indonesia.
Sebelumnya, SP juga sempat menangani kasus tuduhan sihir yang dialami oleh Sumartini dan Warnah, yang melewati perjuangan panjang dan pada akhirnya harus mendekam di penjara serta mendapatkan hukuman cambuk akibat tuduhan sihir yang tak pernah mereka lakukan.
Karenanya, diperlukan penanganan serius oleh negara untuk dapat menyelamatkan NT dari kekerasan yang dilakukan suaminya, maupun ancaman hukum yang dapat timbul akibat tuduhan sihir tersebut.
Berbagai upaya untuk menyelamatkan Ibunya dilakukan oleh NAM bersama Solidaritas Perempuan Anging Mammiri – Sulawesi Selatan.
Laporan ke beberapa instansi pemerintah kerap tidak direspon optimal dengan alasan KTP NT yang tidak tercatat di data kependudukan Sidrap, Sulawesi Selatan dan tidak tercatatnya data NT di kantor imigrasi Provinsi Sulawesi Selatan.
Selain itu, upaya NAM untuk melaporkan kasusnya ke Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) juga terkendala karena minimnya data sehingga diarahkan langsung melaporkan ke Direktorat Perlindungan WNI-BHI Kementerian Luar Negeri (Dit PWNI-BHI).
NAM bersama Solidaritas Perempuan pun melaporkan kasus yang dialami NT dan melakukan audiensi dengan KJRI Jeddah, BP2MI dan Dit PWNI-BHI pada tanggal 3 November 2020. Dari audiensi tersebut, diketahui lokasi dan kontak RIAA, suami NT.
Pelaporan dan audiensi juga dilakukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Akan tetapi, setelah lebih dari lima bulan kasus NT dilaporkan, sampai saat ini pemerintah belum bisa mengetahui dan memastikan keberadaan serta keselamatan NT.
Kasus kekerasan dan pelanggaran dialami NT dan banyak perempuan buruh migran lainnya membuktikan Ketidakhadiran Negara dalam memberikan pelindungan terhadap Warga Negaranya di Luar Negeri.
“Telah lebih dari tiga tahun kehadiran UU PPMI, namun pemerintah mangkir dalam menjalankan mandat menyelesaikan peraturan turunan sehingga perempuan buruh migran tetap rentan dan tidak mendapatkan pelindungan dari Negara. Pemerintah tidak berdaya memastikan keselamatan dan pelindungan warga negaranya yang berada di luar negeri meskipun alamat dan nomor HP suami NT sudah diketahui. Padahal, kasus ini menyangkut hidup dan nyawa NT,” ujar Musdalifah Jamal, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Anging Mammiri.
“Harapan saya ada kabar dan ibu saya bisa dipulangkan. Itu sudah lebih dari cukup,“ pungkas NAM yang terus berharap untuk dapat bertemu Ibunya.
Merupakan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak NT, sebagai buruh migran maupun sebagai warga negara, sebagaimana diatur secara tegas di dalam Konstitusi UUD 1945, UU No.6 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Migran 90, maupun instrumen HAM lainnya.
Karenanya negara harus melakukan langkah-langkah pembelaan dan penanganan serius yang berbasis Hak Asasi Manusia sebagai wujud bukti hadirnya negara untuk melindungi warganya, dalam hal ini NT yang merupakan perempuan buruh migran.
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News