Sejak lahirnya reformasi, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mendorong kebebasan pers melalui hak keterbukaan atas akses informasi publik. Jaminan itu diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Jaminan kebebasan berekspresi yang diberikan pada jurnalis merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memenuhi hak-hak demokratis warga negaranya. Kebebasan berekspresi menjadi hak fundamental yang mencakup kebebasan dalam mencari, menerima, dan menyampaikan informasi atau gagasan melalui media apapun dan tidak memandang batas negara merupakan deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Namun, dalam praktiknya peraturan tersebut hanya sekadar peraturan tertulis karena masih banyak kasus jeratan hukum yang dialami oleh para jurnalis seperti tindak kekerasan saat mengumpulkan informasi publik dan laporan atas pemberitaan yang dianggap merugikan beberapa pihak yang terlibat. Berbagai kriminalisasi jurnalis yang mengancam kebebasan pers terus bergulir, seperti halnya dialami oleh jurnalis Tirto.id yang bernama Mawa Kresna yang diancam dengan jeratan hukum oleh Staf Khusus Menristekdikti Abdul Wahid Maktub terkait laporan pemberitaannya tentang sindikat jual beli ijazah pada Senin 26 November 2018 lalu, yang mencatut nama Abdul Wahid Maktub.
Ancaman yang dilakukan oleh Maktub lewat pesan singkat Whatsapp pada Senin 26 November 2018 kemarin akan menuntut jurnalis Tirto dan Tirto.id pada pengadilan untuk mengungkap kebenaran dan keadilan atas laporan pemberitaan yang mencatut namanya. Dalam pesan singkat tersebut Maktub mengirimkan dokumen surat kuasa yang diberikannya pada M Sholeh Amin, IIM Abdul Halim, Yasir Arafat dan Falaki K Muhammad untuk melaporkan Tirto.id dan Mawa Kresna ke polisi menggunakan jeratan KUHP 310 ayat (1) atau 311 ayat (1) dan UU ITE yang semuanya merjuuk pada pelanggaran pidana pencemaran nama (defamasi). Maktub lebih memilih melaporkannya pada kepolisian bukan pada Dewan Pers yang bertugas menangani kasus sengketa pemberitaan.
Jurnalis Tirto telah menyampaikan agar Maktub menggunakan hak jawab jika ada keberatan dalam pemberitaan karena laporan berita telah dibuat secara berimbang sesuai temuan data di lapangan. Maktub menjadi salah satu narasumber primer terkait keterlibatannya dalam memberikan memo pada Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi di Kemenristekdikti yaitu Totok Prasetyo. Memo tersebut berisi permohonan “bantuan” kepada Totok, untuk membantu proses pengaktifan kembali beberapa kampus yang sempat dibekukan oleh Kemenristekdikti karena tersandung berbagai kasus pada tahun 2015, diantaranya kampus dibawah naungan Yayasan Pelita Bangsa yang dimiliki oleh Mardiyana yaitu STKIP Sera, STIE ISM dan STMIK Triguna Utama.
Proses pembuatan laporan berita tentang sindikat jual beli ijazah itu dilakukan dalam kurun waktu satu bulan dengan mengumpulkan berbagai data primer terkait beberapa kampus yang menjual ijazah bodong yang berkedok perkuliahan fiktif, yang kemudian dikonfirmasi dan diklarifikasi kembali. Bermula dari dokumen Monitoring dan Evaluasi (Monev) Tim Evaluasi Kinerja Akademik dari Kemenristekdikti terhadap STIE ISM dan STMIK Triguna Utama yang dilakukan pada 5-6 Oktober 2018.
Tirto yang melakukan investigasi kembali atas dokumen EKA mengungkapkan pada tahun 2015, STIE ISM, STMIK Triguna Utama, dan STKIP Sera pernah dibekukan Kemenristekdiksi. Ketiga kampus tersebut milik keluarga Mardiyana yang sudah lama menjadi pemain dalam kasus jual beli gelar dan ijazah pada tahun 2005. Keterlibatan Maktub dalam kasus ini karena memiliki relasi dengan Mardiyana, dan kedekatannya dengan Suyadi selaku dewan Pembina dan wakil ketua IV bidang Kehumasan STIE ISM.
Kejanggalan yang ditemukan dalam dokumen itu mengungkapkan fakta bahwa jumlah mahasiswa yang diluluskan sejak 2014 sampai Maret 2018 ada 2.033 mahasiswa namun tercatat hanya 38 skripsi yang dibuat STMK Triguna Utama, penerbitan ijazah sekitar 873 lembar dari jumlah mahasiswa yang lulus pada tahun 2017 sekitar 145 mahasiswa, terdapat skripsi jiplakan dan tesis tanpa tanggal tapi tetap yudisium dan wisuda, melaksanakan kelas jauh seperti mahasiswa STMIK Triguna dan STKIP Sera dapat mengikuti kuliah di STIE ISM, memakai dosen dari luar untuk menguji skripsi namun tidak berhak meluluskan.
Berbagai permasalahan yang menyandung ketiga kampus milik Mardiyana tersebut bukan ditindak tegas tetapi akan merger menjadi Universitas Pelita Bangsa, pendirian tersebut hanya tinggal menunggu SK dari Menteri Nasir. Upaya maktub melalui memo saktinya menjadi jembatan antara pihak kampus dengan Kemenristekdikti dalam mempermudah implementasi kebijakan. Seharusnya dalam Peraturan Presiden 7 tahun 2015 pasal 70 tugas staf khusus menteri dilarang memberi memo yang bisa mempengaruhi kebijakan kementerian. Terindikasi ada berbagai upaya permainan politik dengan memanfaatkan relasi demi kepentingan kelompoknya.
Berbagai upaya yang dilakukan Tirto dalam mengkonfirmasi dan klarifikasi terhadap temuan data dilapangan, mulai wawancara dengan mahasiswa, ketua kampus, pemilik Yayasan Pelita Bangsa, Staf Khusus Menteri, dan berbagai pihak Kemenristekdikti yang terliba agar menghasilkan data yang berimbang. Upaya jeratan hukum pada pihak kepolisian yang dilakukan Maktub pada Mawa Kresna dan Tirto.id menjadi representasi rendahnya kesadaran masyarakat dalam hidup berdemokrasi. Berbagai perlakuan kriminalisasi yang ditujukan pada jurnalis menunjukkan kegagalan bangsa dalam memahami dan menjalankan komitmen atas kebebasan pers. Jaminan kebebasan dalam berekspresi dilukai menjadikan kebebasan pers yang terus digaungkan dalam pesta demokrasi, hanyalah sebuah wacana yang sesungguhnya hanya omong kosong belaka. (Irma)
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News