Kasus penganiayaan siswi Sekolah Menengah Pertama AY (14) di Pontianak, Kalimantan, mengundang banyak simpati.
Bahkan Tim dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Provinsi Kalimantan Barat, Dinas PPPA Kota Pontianak, Polresta Pontianak dan para psikolog telah turun langsung menangani dan mendampingi korban yang masih dirawat di RS Mitra Medika.
“Korban akan terus mendapatkan penanganan dalam bentuk trauma healing dari psikolog. Sementara pihak rumah sakit berencana akan melakukan hypnotherapy bagi korban. Kemen PPPA berharap agar korban mendapatkan proses pemulihan terbaik,” ujar Pribudiarta N Sitepu dalam konferensi pers terkait penjangkauan dan penanganan kasus AY di Jakarta (10/04)
Dikatakan, saat ini pihak Polresta Kota Pontianak sendiri telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus penganiaayaan dan dikenakan pasal 80 ayat (1) UU No. 35/2014 tentang perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman tiga tahun enam bulan penjara.
Berdasarkan hasil visum kasus tersebut masuk kategori penganiayaan ringan. Para pelaku juga akan diberikan pendampingan dalam bentuk pemulihan pola pikir atas tindakan salah yang telah dilakukan.
“Kemen PPPA menghargai setiap proses hukum yang berlaku, namun mengingat para pelaku masih dalam kategori anak-anak, Kemen PPPA berharap semua pihak menangani proses ini dengan tidak gegabah,” jelas Pribudiarta.
Semua pihak, lanjutnya, harus benar-benar memahami penyebab anak pelaku melakukan tindak penganiayaan.
Pribudiarta menambahkan, hal tersebut dilakukan agar anak pelaku bisa mendapatkan penanganan yang tepat, tentunya yang mengacu pada Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Prinsip mengedepankan kepentingan anak harus juga diutamakan,” tegasnya.
KemenPPPA dalam hal ini menghimbau kepada masyarakat pengguna media social untuk lebih bijaksana dalam mencerna informasi dan berpikir mencari kebenaran sebelum menyebarkan informasi.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi juga memunculkan efek negatif dalam bentuk kekerasan melalui media online. Pemerintah dalam hal ini Kemen PPPA telah mengingatkan pentingnya parenting digital dan peran pemangku kepentingan, terutama dari orang tua, sekolah, lingkungan dan komunitas kepada anak agak menggunakan media dengan bijak” jelas Pribudiarta didampingi Deputi Bidang Perlindungan Anak, Nahar.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah berupaya menekan kasus seperti ini melalui sosialisasi dan pelatihan kepada orangtua, anak dan aktivis masyarakat melalui Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Sosialisasi berupa literasi digital melalui pengetahuan tentang pengasuhan dan penggunaan internet yang aman serta sebagai bekal pertahanan diri ketika berselancar di media sosial. (wwk | foto : istimewa)
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News