Ilustrasi gambar: Media Kompas
SUARA PEREMPUAN-SURABAYA: Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah bersepakat memperluas sudut delik zina dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam RKUHP tersebut, setidaknya terdapat 786 pasal yang telah disepakati, dan akan dibahas dan ditentukan oleh rapat Panitia Kerja RKUHP Komisi III DPR RI.
Atas usulan pemerintah, yang kemudian mendapat persetujuan oleh DPR adalah perluasan tindak pidana zina dalam KUHP dengan menyasar seluruh pasangan tanpa syarat terikat perkawinan. Salah satunya tertulis dalam pasal 484 ayat 1 huruf E draf RKUHP yang menyatakan:
“Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam ikatan perkawinan yang sah, melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun,” seperti yang dilansir dari Tirto.Id.
Untuk menghindari persekusi lantaran adanya ayat 1 huruf E ini, DPR dan pemerintah kemudian memperketat ketentuan lewat pasal 484 ayat 2 draf RKUHP yang berbunyi:
“Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang merasa tercemar kepentingan,” Frase pihak ketiga yang dimaksud ini diganti dengan suami, istri, orangtua, dan anak.
Yang berarti, tidak ada proteksi lebih terhadap korban perlakuan perkosaan, jika tidak ada pihak suami, istri, orangtua, dan anak yang bersangkutan merasa tercemar kepentingannya atas tindakan tersebut. Belum lagi, jika korban perkosaan yang tidak bisa membuat pembuktian bahwa tindakan tersebut perlakuan pemerkosaan dapat diseret ke penjara.
Persoalan ‘Perkawinan yang Sah’
Persoalan perkawinanan yang sah, ternyata juga menjadi sorotan tersendiri bagi para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Frasa ‘perkawianan sah’ yang dimaksud adalah sebuah perkawinan baru dianggap sah dan diakui Negara apabila perkawianan tersebut dilakukan sesuai hukum agama dan kepercayaan masing-masing yang tercatat secara resmi sesuai menurut peraturan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Terlebih menurut Direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak Indonesia (PUSKAPA) Santi Kusumaningrum menyatakan, permasalahan ini lebih menyasar kepada msayarakat miskin dan masyarakat adat yang tidak mempunyai akta pernikahan.
“Sebanyak 55% pasangan suami istri dari kelompok masyarakat miskin tidak mempunyai akta nikah. Hal serupa juga terjadi dengan masyarakat adat, untuk itu perlu ada peraturan yang bias mengakomodir mereka,” katanya seperti dilansir Tirto.id.
Santi juga mengungkapkan, artinya diperlukan penundaan pengesahan RKUHP dan membuka akses seluas-luasnya untuk melakukan dialog secara terbuka dengan publik, dan melakukan uji coba dampak, serta turut melibatkan para ahli lintas disiplin ilmu untuk mempertimbangkan keseluruhan isi daripada RKUHP itu sendiri
“Menunda pengesahan RKUHP, akan menunjukan komitmen pemerintah dan DPR pada akses keadilan semua orang dan menunjukann kepedulian pada dampak agar setiap butir peraturan yang tertuang dalam RKUHP tidak mendiskrimanasi terlebih mengkriminalisasi siapapun,” tutupnya. (RERE/POUNDRA).
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News