Judul Buku | : | After The Banquet |
Pengarang | : | Yukio Mishima |
Jumlah Halaman | : | 276 Halaman |
Penerbit | : | Immortal Publishing |
The New Yorker menyebut After The Banquet sebagai “Hal paling mendalam yang telah dilakukan Mishima sejauh ini dalam kariernya yang luar biasa”.
Hal ini dikutip saat buku ini tersedia dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya di tahun 1963.
After The Banquet mengisahkan tentang potret pernikahan antara dua orang yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang sangat bertentangan.
Dua pribadi yang sangat bertolak belakang karakternya dalam keseharian. Hingga sulit mencoba membayangkan, bagaimana mereka bisa “berdamai” saat memutuskan untuk hidup berumah tangga.
Kazu, sang istri, adalah seorang wanita pemilik restoran yang meski telah berusia 50 tahun, namun masih bergairah akan hidupnya dan memiliki banyak pengagum rahasia.
Sementara Noguchi, sang suami, seorang politikus aristokrat mantan menteri kabinet, yang selalu serius dalam hidup dan cenderung keras hati saat menghadapi Kazu.
Ia adalah cerminan budaya patriarkhi kuno yang sulit untuk melebur dengan perubahan jaman.
Konflik kian bergulir saat Noguchi ditawarkan untuk kembali masuk ke dunia politik melalui posisi Gubernur Tokyo. Kazu begitu antusias menyambut hal ini dan berjuang habis-habisan mendukung keberhasilan suaminya.
Termasuk jika ia harus banyak mengeluarkan dana untuk kepentingan kampanye Noguchi dengan menguras habis harta bendanya.
Namun seorang calon Gubernur tentu haruslah memiliki reputasi baik di masyarakat. Hal ini tampaknya sulit dipenuhi oleh Noguchi.
Masa lalu Kazu yang kelam, membuat Noguchi seolah mendapat penghakiman moral dari masyarakat. Hal ini benar-benar dimanfaatkan oleh pihak lawan guna menyebarkan kampanye hitam tentang Noguchi.
Novel klasik After The Banquet tak hanya menyajikan rumitnya kehidupan pasangan Kazu dan Noguchi. Namun ia juga punya sisi apik tentang kehidupan ritual Jepang termasuk tata krama perjamuan serta indahnya makna tentang jubah kimono.
Yukio Mishima memang bukan penulis biasa. Ia tiga kali dinominasikan sebagai penerima Nobel kesusastraan. Karya-karyanya senantiasa menembus batas budaya dengan fokus pada isu homoseksualitas, kematian dan isu politik.
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News