Belum lama ini, platform media sosial TikTok sedang ramai membahas sebuah tren viral bernama de-Influencing. Jika selama ini konten yang kerap dibagikan oleh influencer mengajak orang untuk mengikuti atau membeli dan mencoba sebuah produk, De-Influencing justru sebaliknya.
Tren De-Influencing adalah gerakan atau konsep yang muncul sebagai tanggapan terhadap dominasi media sosial dan budaya influencer. Istilah De-Influencing adalah perpaduan antara kata “De” yang berarti mengurangi atau menolak dan “Influencing” yang merujuk pada pengaruh yang dimiliki oleh para influencer.
Gerakan de-Influencing melibatkan sikap kritis terhadap kultur konsumsi yang mendorong seseorang untuk membeli produk atau mengadopsi gaya hidup hanya karena dipengaruhi oleh influencer. De-Influencing mendorong orang untuk lebih mempertimbangkan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi mereka sendiri ketika membuat keputusan konsumsi.
Tren de-Influencing mendapatkan momentum hampir 800 juta penayangan di Tiktok hingga bulan Juli. Terdapat beberapa alasan yang mampu memicu popularitasnya kian meningkat. Diantaranya keinginan akan keaslian produk yang ditawarkan, kejenuhan pada media sosial serta adanya pergeseran nilai. Lewat tren De-Influencing itu, para kreator mengajak para pengguna media sosial untuk tidak asal mengikuti atau membeli dan mencoba sebuah produk.
Melansir dari First Post, konten de-Influencing pertama kali dipopulerkan oleh salah seorang beauty influencer yaitu Maddie Wells sekitar tahun 2020 yang dulunya pernah bekerja di salah satu toko kosmetik ternama di dunia.
Lewat akun TikToknya, ia membagikan informasi kepada pengikutnya tentang produk-produk yang kerap dikembalikan oleh konsumen dan meminta mereka untuk tidak menyukai produk yang sedang naik daun.
Dalam videonya yang berhasil menembus 2,5 juta penayangan itu, Maddie menyebutkan bahwa maskara dan peeling yang paling sering dikembalikan oleh pelanggannya saat bekerja. Sehingga ia lantas berpikir untuk mengunggah konten tentang keaslian dan menyebut hal tersebut dengan De-Influencing. Namun begitu, ia juga merasa tidak yakin bahwa dialah orang pertama yang menyebut istilah tersebut.
Pada kasus lain, influencer kecantikan TikTok, Mikayla Nogueira, diam-diam menerapkan bulu mata palsu untuk membesar-besarkan efek maskara yang telah dibayar untuk dipromosikannya. Video dan reaksinya memicu perdebatan yang lebih luas seputar keaslian dan mendorong banjirnya postingan De-Influencing.
Para pengikut menginginkan keaslian produk dan meminta agar influencer lebih jujur dalam mereview produk. Influencer dianggap telah mempromosikan produk yang tidak mereka yakini atau tidak sejalan dengan basis pengikut mereka.
Menanggapi akan adanya keaslian, De-Influencer akan mencoba untuk memprioritaskan konten asli yang mereka konsumsi serta keterlibatan nyata atas konten yang dikuratori dengan cermat. Kelelahan pada konten media digital dinilai akan membawa potensi pada tantangan kesehatan dalam jangka panjang.
Mereka juga akan terus berupaya untuk mempertahankan citra yang baik dan sempurna guna mendukung kesehatan mental yang lebih baik. De-Influencing menawarkan perspektif hidup yang lebih seimbang dan realistis sehingga individu merasa tidak terlalu tertekan untuk memenuhi standar akan sebuah produk yang tidak realistis.
Selain itu evolusi nilai-nilai dalam masyarakat menuju transparansi, kejujuran dan hubungan yang berkesinambungan tampaknya menjadi landasan yang lebih kokoh ke depan untuk sebuah sikap De-Influencing. Meskipun pada akhirnya gerakan De-Influencing ini sejujurnya memang akan dihadapkan dengan kebiasaan influencer, yang seringkali menyulut dan mempengaruhi secara signifikan budaya konsumerisme atau pemborosan.
Pantau info terbaru perempuanriang.com di Google News